Review Jurnal anti monopoli dan persaingan tidak sehat (Revisi)

 Minggu, 3 Juni 2012

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

I. Abstrak
Salah satu amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pembentukan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dengan kewenangan antara lain menerima  laporan tentang dugaan praktik  monopoli atau persaingan usaha tidak  sehat, melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan atau tindakan yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian bagi pelaku usaha lain atau masyarakat, sampai dengan kewenangan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Anti Monopoli.
II. Pendahuluan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan komisi yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-undang nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU Anti Monopoli antara lain diatur bahwa kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah :
  • Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
  • melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
  • memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat
  • menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini (Pasal 36 UU Anti Monopoli).
III. Pembahasan
Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoli
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
 Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah
4. Pemboikotan
5.  Kartel
6. Trust
7. Oligopsonih
8. Integrasi vertikal
9. Perjanjian tertutup
10. Perjanjian dengan pihak luar neger
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
     yang terdiri dari :
  1. Oligopoli
    Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
  2. Penetapan Harga.
    Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,antara lain :
    • perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
    • Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
    • Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
    • Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan
  3. Pembagian Wilayah
    Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
  4. Pemboikotan
    Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
  5. Kartel
    Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
  6. Trust
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
  7. Oligopsoni
    • pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
    • Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
  8. Integrasi Vertikal
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
  9. Perjanjian Tertutup
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
  10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
  1. Monopoli
    Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
    nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
  2. Monopsoni
    Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
  3. Penguasaan Pasar
    Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
  4. Persengkongkolan
    Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
3. Posisi dominan, yang meliputi :

  • Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
  • Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
  • Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
  • Jabatan rangkap
  • Pemilikan saham
  • Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
  1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
  2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
  3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
  4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
  5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
  6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
  7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
  8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU no.5 Tahun 1999 tentang anti monopoli)
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai oleh negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
–  Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
–  Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
–  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut.

Sanksi

  1. Sanksi Administrasi
    Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
  2. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
    Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
  1. pencabutan izin usaha
  2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
  3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
IV. Kesimpulan
       Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum yang mendasari beberapa Putusan KPPU terpilih tersebut meliputi asas-asas hukum berikut :
Asas anti pemilikan saham pada dua atau lebih perusahaan pada pasar yang sama oleh satu pihak saja; Asas anti kartel (larangan terhadap perjanjian penetapan harga antara dua atau lebih pelaku usaha yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat); Asas anti diskriminasi (perlakuan yang sama dalam konteks hal-hal yang memang sifatnya sama); Asas kompetisi yang fair; Asas larangan penguasaan dan atau pemasaran secara monopoli dan penggunaan posisi dominan untuk menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing di pasaran.
V. Sumber
- kerthawicaksana_vol18_No1_201201_ISSN0853-6422_Art-122.pdf (http://ejournal.warmadewa.ac.id/wp-content/uploads/2012/04/kerthawicaksana_vol18_No1_201201_ISSN0853-6422_Art-122.pdf )
http://amalmey.files.wordpress.com/2011/10/bab-viii.doc
http://ayudwie.wordpress.com/2011/05/15/anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat-bab-10/
Nama kelompok:
  • Andreas Paka         20210739
  • Antari Pramono       20210936
  •  Prasetiyo                 25210362
  • Tri Prasojo                26210958
  • Yanih Supriyani        28210593
Kelas 2EB06

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Hukum Perikatan (Revisi)

Minggu, 3 Juni 2012

Hukum Perikatan Dalam
kegiatan Ekonomi
Yusmedi Yusuf

Abstrak
Hukum adalah sebuah peraturan dimana setiap bangsa dan negara memiliknya. Adanya sebuah hukum berlaku bertujuan untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan bangsa itu sendiri. Hidup berdasarkan pola hukum dapat membuat keadaan suatu bangsa kondusif dimana, pola hidup disiplin, dan patuh akan membiasakan gaya hidup seseorang. Jenis-jenis hukum yang terdapat dalam suatu negara ialah hukum perdata, hukum perikatan, hukum perjanjian, hukum dagang dan sebagainya.
Kegiatan perekonomian banyak menggunakan ketentuan hukum perikatan yang timbul dari perbuatan hukum perdata. Dasar hukum perikatan terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPER) dan kitab Undang-undang Hukum dagang (KUHD) serta undang-undang khusus yang timbul dalam perkembngan perekonomian dalam masyarakat

Pendahuluan
Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam ranka pergaulan hidup di masyarakat. Kepentngan masyrakat sangat luas, mulai dari kepentingan priadi, pribadi dengan masyarakat dan masyarakat dengan negara. Untuk itu penggolongan hukum privat mengatur kepentingan individu atau pribadi, seperti hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perikatan, hukum dagang dan hukum lainya bersifat khusus dengan memakai asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur oleh kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) dan kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ataupun undang-undang yang bersifat khusus seperti asuransi perbankan, pasar modal dan HAKI dan lainnya. Undang-undang yang bersifat khusus adalah melengkapi ketentuan dalam hukum perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara ang satu dengan yang lainny dalam masyarakat
Hukum perikatan yang terdapat dalam buku III kitab Undang-Undang hukum perdata merupakan hukum yang bersifat khusus dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum yang bersifat ekonomis/ perbuatan hukum yang dapat dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum.

Pembahasan

Kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Dari peristiwa ini menimbulkan suatu hubungan hukum antara dua orang yang disebut perikatan.

A.      Azas Kebebasan Berkontrak

Perikatan bersumber pada perjanjian dan UU (Pasal 1320 Jo 1338 KUHper). Pasal 1320 KUHper berisi tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian meliputi :
1 Kesepakatan para pihak
Para pihak yang mengadakan perjanjian harus ada penyesuaian kehendak dengan persetujuan untuk melakukan perikatan. Dalam melaksanakan perjanjian tidak boleh didalamnya terdapat unsure-unsur penipuan, kekhilafan dan paksaan.
2.    Kecakapan para pihak
Para pihak yang melakukan perjanjian haruslah memenuhi syarat sebagai subjek hukum,
3.   Objek tertentu
Artinya para pihak dalam melaksanakan perjanjian.perikatan harus mempunyai tujuan sebagaimana yang telah di sepakati
4.   Sebab yang halal
Dalam melaksanan perjanjian atau perikatan tidak boleh melawan UU, kebiasaan dan ketertiban umum.

B.      Subjek Hukum Perikatan

Kegiatan ekonomi secara umum dapat di artikan sebagai kegiatna usaha yang dijalankan oleh seseorang atau badan hukum untuk mendapatkan laba. Dalam hukum dikenal sebjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum.
Dalam perkembagannya manusia tidak mampu melaksanakan kegiatan sendirian yang di kenal dalam hukum perikatan yaitu
1.      Perusahaan perseroan
2.      Perusahaan persekutuan (Pasal 1618 KUHper)
3.      Persekutuan Komanditer (Pasal 19 sampai 21 KUHD)
4.      Perseroan Firma (Pasal 16 sampai 18 KUHD)
5.      Perseroan Terbatas (UU No. 20 Tahun 2007 Tentang PT)

C.      Perbuatan Hukum Perikatan

1.      Jual-beli
Perjanjian Jual-beli sebagai perikatan antara penjual dengan pembeli dengan hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum berupa penyerahan barang dengan pembayaran harga barang.
2.      Sewa-Menyewa
Kesepakatan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum antara sipenywa dan sipemilik barang.
3.      Asuransi
Asuransi menurut pasal 246 KUHD adalah suatu perjanjian antara penanggung denga tertanggung untuk mengalihkan resiko oleh kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan oleh peristiwa yang tidak dapat di pastikan dengan membayar premi tertentu.
4.      Perbankan
Kredit perbankan menurut UU nomor 7 tahun 1992 tentang perjanjian pinjam meminjam uang dengan kesepakatan pengembalian dan bunga yang telah di tentukan.
5.      Hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
Perlindungan atas hak cipta, merek, dan paten serta desain industry terhadap pembajakan serta perlindungan dalam lisensi kepada pemegang haknya berdasarkan perjanjian untuk mendapatkan nilai ekonomis.
6.      Perjanjian kerja
Peristiwa hukum dalam melaksanakan hubungan kerja antara pihak pekerja dengan pemberi kerja.
7.      Surat berharga
Berfungsi sebagai surat tuntutan pembawa hak dan mudah untuk diperjual belikan.
8.      Pasar Modal
Dalam aspek perikatan antara pembeli dan penjual untuk melaksanakan perjanjian dan kesepakatan modal atau capital dalam suatu perusahaan.

D.     Objek Hukum Perikatan

Benda dalam Pasal 499 KUHper adalah semua barang dan hak. Hak disebut juga bagian dari kekayaan. Benda mencangkup yang berwujud dan yang tidak berwujud.

E.      Wansprestasi dalam hukum perikatan

Penegakan hukum perikatan dilakukan apabila salah satu pihak dalam melakukan hubungan hukum melakukan ingkar janji. Perbuatan ingkar janji ada 4 bagian yaitu :
1.      Tidak melakukan perbuatan sebagaimana di perjanjian.
2.      Melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan perjanjian
3.      Terlambat dalam melaksanakan perjanjian
4.      Melakukan perbuatan yang tidak di perbolehkan dalam perjanjian.

Akibat dari pelanggaran perjanjian
1.      Ganti kerugian berupa biaya, rugi dan bunga
2.      Pembatalan perjanjian
3.      Peralihan resiko

Kesimpulan
Jadi dapta disimpulkan, bahwa hukum perikatan adalah sebuah hukum yang berhubungan dengan hukum antara dua orang atau lebih didalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi.
Sebagaimana tercantum di dalam UU, hukum dibuat agar manusia dapat mematuhinya dan belajar menjadi manusia disiplin, dimana keduanya saling berperan penting dalam memajukan bangsa dan negara. Kegiatan perekonomian diatur oleh hukum perdata yang timbul dalam perikatan yang bersumber dari perjanjian dan Undang-Undang. Perikatan Banyak digunakan dalam perbuatan hukum jual-beli, sewa-menyewa,asuransi, perbankan, surat-surat berharga, perjanjian kerja dll. Hukum perikatan menganut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualitas.

Sumber :


Nama Kelompok :
  • Andreas Paka          20210739
  • Antari Pramono        20210936
  •  Prasetiyo                 25210362
  • Tri Prasojo                26210958
  • Yanih Supriyani         28210593
Kelas 2EB06


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) (Revisi)

Minggu , 3 Juni 2012

Tantangan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Bagi Para intelektual Di Indonesia
Oleh : Ny.Sukarmi
Abstraksi
Dalam keletihan mengatasi deraan krisis ekonomi, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) kembali digugat perannya dalam proses pemulihan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Sejauh ini, HaKI memang mempunyai insentif strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi meski juga berkarakter monopoli yang mengundang resistensi. Patut diakui, globalisasi telah menciptakan format-format interdependensi. Demikian pula rezim HAKI yang sarat dengan tatanan regulasi dan juga masalah birokrasi dimana sangat berkaitan erat dengan masalah prosedur dan keadministrasian, yang tentu saja berurusan waktu dan uang. Waktu yang dibutuhkan penemu untuk mendaftarkan hak patennya dirasakan cukup lama dan kira-kira hamper memakan waktu 2 tahun. Lamanya proses ini, tentu berkaitan erat dengan ketidakfrofesionalisme dari tenaga yang ada dikantor tersebut, disamping ini mereka harus dibekali ketrampilan yang memadai. Masalah HAKI memang merupakan masalah yang khusus, sehingga merekapun dibekali ilmu yamg khusus pula.

PENDAHULUAN
Pada intinya HaKI adalah selalu berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang mempunyai nilai komersial, karena HAKI adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki dan dapat diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya. Objek yang diatur dalam dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.HAKI terdiri dari Hak Cpta, Merek, Indikasi Geografis, Desain Industri dll.
Adanya HAKI di Indonesia, sangat membantu dan menjujung tinggi sikap saling menghargai kreatifitas intelektual seseorang, Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara berkembang, telah meratifikasi perjanjian TRIP’S melalui UU No 7 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan pembetukan organisasi pedagangan dunia, Lembaga Negara Tahun 1994 nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3654, maka berdsarkan article 65 ayat (2), Indonesia terikat untuk mentaati segala ketentuan TRIP’S tersebut.

PEMBAHASAN
Apa Maksud HAKI? Hak Milik Intelektual atau Hak Atas Kekayaan Intelektual atau yang biasa disebut dalam bahasa asing, “Intellectual Property Rights (IPR), Inggris atau “Geistiges Eingentum (Jerman), merupakan hak milik dalam wujud lain, bila dibandingkan dengan hak milik yang lain pada umumnya. HAKI juga merupakan hak milik atas benda tak berwujud.
Secara substantive pengertian HAKI dapat dideskripsikan sebagai “Hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia”. Dalam HAKI juga dikenal suatu sistem yang diberlakukan yang disebut hak privat, yang bercirikan cirri khusus yang dengan bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak, bersifat eksklusif, yang ini semua diberikan negara kepada individu pelaku HAKI (investor, pencipta, desain). Dan semua dilakukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan iklim yang kondusif.
Pada tahun 1994 di Marakesh telah dihasilkan putusan yang salah satunya adalah Trade Related Aspects of Intelectual Propherty Right, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIP’S) yang bertujuan:
a. Meningkatkan perlindungan terhadap HAKI dari produk-produk yang diperdagangkan
b. Menjamin prosedur pelaksanaan HAKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan
c. Merumuskan aturan serta disilin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HAKI.
d. Mengembankan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk mengangani
perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas HAKI
Pelaksanaan 4 diatas tetap memperhatian usaha-usaha yang telah dilakukan oleh WIPO. Sehingga tujuan dari TRIP’S adalah untuk mengefektifkan pelaksanaan perjanjian internasional tersebut.
Banyak memang kalangan intelektual kita yang belum mengerti terhadap arti penting terhadap keberadaan dan kegunaan atau mamfaat dari HAKI. Salah satu cara untuk dapat mengetahui terhadapa pemahaman masyarakat tentang HAKI adalah dengan melihat, seberapa banyak temuan” yang telah dipatenkan. Sebenarnya pengetahuan tentang HAKI itu sangat penting bagi seorang ilmuwan atapun masyarak biasa sekalipun, hal itu dikarenakan adanya HAKI merupakan suatu sumber hukum terhadap setiap karya yan telah dibuat oleh seseorang,
Bagi negara yan berpikir maju, dapat menjadikan HAKI sebagai komoditi bisnis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan dalam era globalisasi ini, perdagnagan yang menyangkut HAKI memperlihatkan pertumbuhan yang pesat, seperti pada bidang domain names and trademark internet. Disamping itu, kerugian yang diakibatkan oleh HAKI, seperti kerugia akibat pelanggaran hukum, pembajakan “industry software mencapai milyaran dollar.
MASALAH BIROKRASI DALAM HAKI
Masalah HAKI sangat berkaitan erat dengan masalah prosedur keadministrasian, yang tentu saja berurusan dengan waktu dan uang. Waktu yang dibutuhkan penemu untuk mempatenkan hak ciptanya, sangat berbelit-belit bahkan bisa berkurun waktu berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Hal ini mesti ditangglangi secepatnya, karena masalah HAKI sebenarnya memang merupakan masalah yang khusus, sehingga merekapun dibekali ilmu yamg khusus pula. Untuk itu, perlu dibutuhkan pelatihan khusus baia para tenaga teknis. Disamping itu, untung penegak hukum, perlu dibekali pengetahuan yang cukup di bidang HAKI. Karena sering terjadi pelanggran Hak Cipta.

KESIMPULAN
Jadi dapat disimpulkan, HAKI ialah Hak kekayaan intelektual dimana melindungi dan menghargai kreatifitas intelektual seseorang. Adanya hukum hak dapat membatasi maraknya sistem pembajakan di Indonesia ini yang makin lama malah makin meningkat. Padahal  adanya HAKI, sudah sejak lama yaitu pada zaman penjajahan belanda. Untuk itu, sebagai WNI yang baik, junjunglah tinggi HAKI dengan meningkatnya kreatifitas tiap individu jadi tiap individu itu akan berlomba-lomba untuk mengahasilkan karya yang terbaik yang dapat dijual di masayrakat, jadi secara tidak langsung adanya pembajakan pun akan hilang dan setiap akan menghargai jerih payah seseorang menciptakan sesuatu yang bermakna.
Situasi mendatang merupakan masa-masa yang penuh dengan tantangan dan kompetitif bagi Bangsa Indonesia seiring dengan globalisasi pasar. Bangsa Indonesia mesti keluar dari krisis moneter yang berkepanjangan dan hal tidak akan mudah berhasil jika masalah hukum tentang perlindungan terhadap kepemilikan HAKI tidak tertata sempurna         Disamping itu parang penegak hukum dan para tenaga teknis birokrasi perlu ilmu dan metal memadai dalam menghadpi masalah HAKI ini.

Sumber :

Nama Kelompok :
  • Andreas Paka          20210739
  • Antari Pramono        20210936
  •  Prasetiyo                 25210362
  • Tri Prasojo                26210958
  • Yanih Supriyani         28210593
Kelas 2EB06

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Penyelesaian Sengketa Ekonomi ( Revisi )

Minggu, 3 Juni 2012
 
Penerapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Pengarang : Hj. Renny Supriyatni, Dosen Tetap Fakultas Hukum Unpad

ABSTRACT
The development of Islamic economic institutions in Indonesia has created the conflict of interest between stakeholder and Religious Court, especially in settlement of syariah-economic disputes. The application of fiqih muamalah in settlement of syariah-economic disputes in Islamic Religious Court, has been the crucial issue in Indonesia positive law . This article will seek to find and determine whether the application of fiqih muamalah as a basis in such dispute settlement is consistent with the Islamic Law Principles. It also examines the implementation of fiqih muamalah that has become an Indonesian positive law. This research applies juridical normative approach. Data collection is gathered from library research complemented by primary from field research. The specification of this research is descriptive analysis, and the data gathered is analyzed in qualitative method.

PENDAHULUAN
Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering. Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding). Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri.

PEMBAHASAN
  1. Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama.Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:
  1. Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
  2. Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau perkara.31
  3. Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih mengetahui.
Seorang hakim mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan menuntut Hakim Agama supaya melakukan ijtihad (rechtvinding). Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks di bawah ini:
  1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama;
  2. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …” (Angka 7 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
  3. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Para pihak pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum, sebagai seorang hakim yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara” (Penjelasan Pasal14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
  4. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan rumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat” (Pasal27 berikut Penjelasannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Konsep hukum Indonesia adalah hukum tertulis sebagaimana hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental.Namun pada pelaksanaannya Indonesia tidak murni menganut sistem statut law dan juga tidak menganut sistem common law secara ketat. PasalI aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan:“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan Pasaltersebut, yang dimaksud dengan hukum adalah hukum yang tertulis atau undang-undang dan bukan kitab yang berisi doktrin-doktrin hukum/fikih. Tetapi ketentuan tersebut bukan merupakan ketentuan yang menutup pintu ijtihad bagi hakim dalam menemukan hukum, sebab konteks tugas hakim berdasarkan Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum (hukum tertulis) tidak ada atau kurang jelas.Dalam Pasal28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

  1. Aktualisasi Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan sebagai acuan pada sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang digunakan oleh para pihak.
Perlu ditegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan undang-undang.Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi mujtahid.37Apabila kedudukan fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh, maka kedudukan fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.38Namun dalam konteks ini, teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat diterima karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik.
Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN tidak hanya mengikat bagi para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga bagi warga masyarakat Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut telah dijadikan hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang berbunyi “ Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah terdapat beberapa peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang ekonomi yang telah menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:
1. UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2. UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Label halal);
3. UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4. UU. Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
5. UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
6. UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN);
7. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
8. UU. Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama;
9. P.P. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
11. PP. Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Wakaf Tunai
12. PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Ekonomi Syariah.
Mengingat fatwa-fatwa dan peraturan perundang-undangan di atas belum meliputi seluruh item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka hakim di Peradilan Agama juga perlu mempelajari 13 kitab-kitab fiqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 Tahun 1958.

KESIPULAN
Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah.Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006.Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah.

Sumber :

Kelompok:
  • Andreas Paka           20210739
  • Antari Pramono         20210936
  • Prasetiyo                   25210362
  • Tri Prasojo                26210958
  • Yanih Supriyani         28210593
 
Kelas 2EB06

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Hukum Dagang (revisi)

Minggu, 3 Juni 2012

Perkembangan Wesel Dan Cek Sebagai Alat Bayar Giral

Agung Sujatmiko
Universitas Airlangga Surabaya
I.    Abstrak
Pembayaran dalam perdagangan tidak hanya menggunakan uang tunai, tapi juga surat berharga komersial seperti wesel dan cek. Meskipun kesamaan antara wesel dan cek sebagai alat pembayaran, keduanya berbeda. Wesel adalah pembayaran debit, sedangkan cek adalah satu tunai. Keduanya diatur oleh KUHD, namun cek lebih populer daripada wesel. Orang lebih suka menggunakan cek dari wesel, karena cek memiliki keuntungan lebih cepat, praktis, dan aman. Sekarang cek telah diperbaiki dan maju dengan berbagai fitur, seperti travellers cek, crossed cek, incaso cek, cashier cek, bilyet digital cek.

II.   Pendahuluan
Kemajuan teknologi dunia demikian pesat ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan. Hal ini terbukti diantaranya dalam hal orang menghendaki segala sesuatu tang menyangkut urusan perdagangan yang bersifat praktis dan aman serta dapat di pertanggungjawabkan, khususnya dalam lalulintas pembayarannya.
Dalam hal ini orang tidak mutlak lagi menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun alat pembayaran kredit.
Dalam dunia perbankan dikenal bermacam-mavam surat berharga, antara lain wesel, cek, aksep, dan bilyet giro. Ciri surat berharga itu adalah dapat dengan mudah dipindahtangankan dari satu orang ke orang lainnya, berfungsi sebagai alat legitimasi, dan dapat di pergunakan sebagai alat pembayaran yang sah sebagai mata uang.
Salah satu surat berharga yang dipakai dalam lalulintas pembayaran secara giral adalah wesel dan cek. Wesel di atur dalam pasal 100 sampai dengan 177 KUHD, sementara cek diatur dalam pasal 178 sampai dengan pasal 229d.
Beberapa faktor yang terkait efisiensi dan efektivitas dalam pembayarannya menjadi penyebab utama mengapa cek lebih populer dikalangan masyarakat luas. Hal ini di sebabkan karena dalam dunia perdagangan global, persoalan tentang tata cara pembayaran menjadi sangat penting, mengingat pengusaha selalu memerlukan dana segar dalam waktu cepat dan tepat untuk keperluan transaksinya dengan pihak ketiga. Oleh kaena itu, persoalan tentang alat bayar apa yang sesuai dengan tuntutan transaksi bisnis, akan berpengaruh pada intensitas penggunaan alat bayar giral yang digunakan.

III.    Permasalahan
          Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas adalah; Bagaimana perbedaan penggunaan wesel dan cek sebagai alat bayar giral dan, bagaimana perkembangan cek sebagai alat bayar giral?   
A. Perbedaan Wesel dan Cek
          Berdasarkan persyaratan formil yang di atur dalam KUHD, ada beberapa perbedaan yang sangat prinsip antara wesel dan cek. Berdasarkan pasal 100 KUHD, persyaratan formil wesel adalah:
  1. Nama surat wesel yang dimuatkan di dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa surat itu ditulisnya.
  2.  Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
  3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
  4. Penetapan hari bayar (vervaldaag).
  5. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan jika tempat tidak disebutkan secara khusus, maka tempat yang tertulis di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran.
  6. Nama orang kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
  7. Tanggal dan tempat surat wesel ditariknya.
  8. Tandatangan orang yang melakukannya (penarik).
Jika dibandingkan wesel, persyaratan formil cek berbeda. Sesuai dengan pasal 178 KUHD, persyaratan formil cek adalah:
  1. Nama cek dimuat dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya.
  2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
  3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
  4. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dibayarkan.
  5.  Tanggal dan tempat cek ditariknya.
  6.  Tandatangan orang yang mengeluarkan cek (penarik).
Jika dibandingkan dengan wesel, maka persyaratan cek lebih sedikit. Ada dua persyaratan yang berbeda dengan wesel yakni, pertama dalam cek tidak ada tanggal pembayaran, karena tanggal pembayaran cek adalah pada saat ditunjukkan pada bank. Perbedaan yang kedua di dalam cek tidak menyebutkan nama pemegang, karena wesel diterbitkan dengan klausula atas pengganti (aan order), sedangkan cek pada umumnya diterbitkan dengan kalusula atas tunjuk (aan toonder).
B. Faktor-faktor Penggunaan Cek dan Perkembangannya
Sebagai alat pembayaran yang sah, baik wesel maupun cek dapat digunakan untuk bertransaksi dalam dunia bisnis. Disamping itu juga dalam pembayaran antar manusia lainnya. Penggunaan wesel dan cek sebagai alat pembayaran dapat memudahkan urusan bisnis antar pihak.
Dalam perkembangannya cek dan wesel banyak di minati oleh masyarakat luas, namun dengan seiring bekembangnya waktu dan semakin maju tekhnologi yang ada cek sudah tidak menjadi alat pembayaran utama karena sudah gencarnya penggunaan kartu kredit. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melaksanakan dan menunjang Sistem Perdagangan di Internasional (SPI), maka dalam pembayarannya perlu menggunakan Cek cBilyet Digital. Menurut Arianto Mukti Wibowo dalam hal ide tentang Rancangan Protokol Cek Bilyet Digital, transaksi di internet yang mengoptimalkan penggunaan sertifikat digital sementara ini barulah SET (Secure Elektronik Transaction). Penggunaan sertifikat digital memang membuat transaksi di internet lebih aman.

IV.             Kesimpulan
     Perbedaan utama antara wesel dan cek adalah wesel sebagai alat bayar kredit, sedangkan cek merupakan alat bayar tunai. Disebut alat bayar kredit, karena pembayaran wesel masih digantungkan pada tanggal pembayaran sesuai dengan jenis wesel yang bersangkutan, sedangkan cek tanggal pembayarannya pada saat ditunjukkan pada bank, dan tidak di gantungkan pada tanggal tertentu. 

Sumber : http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf
Nama Kelompok :
  • Andreas Paka          20210739
  • Antari Pramono        20210936
  • Prasetiyo                  25210362
  • Tri Prasojo                26210958
  • Yanih Supriyani         28210593
Kelas 2EB06

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Hukum Perdata ( Revisi )

 Minggu, 3 Juni 2012

WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Merry Tjoanda, Wujud Ganti Rugi
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010


I. ABSTRAK

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih, yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam hal debitur atau hutang yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan tidak terpenuhi bahwa kewajiban karena ada unsur dia(peminjam/orang ketiga), maka pemberi pinjaman memiliki hak untuk menuntut restitusi, ini adalah apa tulisan ini melatarbelakangi bagaimana masalah dengan bentuk kompensasi sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? Hasil yang diperoleh bahwa kompensasi sebagai akibat dari standar yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga berlaku untuk kompensasi sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum. Mengingat bentuk kerugian material dan imateriil, maka bentuk kompensasi dapat berupa natura (uang) atau innatura.

II. LATAR BELAKANG
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
Pasal 1234 KUHPerdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Dalam hal debitur atau si berutang tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya, yaitu :
  • Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal 1236 KUHPerdata :
“ si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabia ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”dan 1243 KUHPerdata :
“ Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”
Kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
  • Kedua, pasal 1237 KUHPerdata mengatakan:
“ dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.
maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.
  • Yang ketiga adalah, bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata :
“ syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”
maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi. Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.
Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa dirugikan oleh pihak lainnya dalam perikatan tersebut, maka hukum memberikan wahana bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi. Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penulisan dengan permasalahan bagaimana wujud ganti rugi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

III. PEMBAHASAN
1.  Pengertian Kerugian
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi. Pengertian kerugian dikemukakan oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyataatau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya.
Lebih lanjut dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243 KUHPerdata sampai dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan.
Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi).
Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.
2. Unsur-Unsur Ganti Rugi
Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini.”
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
  • Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
  •  Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
  • Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg. Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
  • Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
  • Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga.7
3. Sebab-Sebab Kerugian
Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
a. Hubungan Sine Qua Non (Von Buri)
Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian tersebut.
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut. Berbagai peristiwa tersebut merupakan suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
C menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang, termasuk A dan B. Kamar-kamar tersebut terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut kontrak sewa, para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam urutan kronologis terjadi yang berikut ini:
a. A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b. B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi, yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c. Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit listrik tersebut? Mesin-mesin itu tidak akan berhenti andaikata A tidak menggunakan alat listrik pemanas air, Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Peristiwa a merupakan syarat untuk timbulnya peristiwa c. Dalam artinya bahwa tanpa a, c tidak akan terjadi (condicio sine qua non).
Kalau “penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak menggunakan alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan beban listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi Kalau “penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak menggunakan
b. Hubungan Adequat (Von Kries)
Kerugian adalah akibat adequat pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang adequat.
Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan / diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Ajaran ini mencampur adukkan antara causalitet dan pertanggunganjawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate. Hal ini ternyata dari arrest-nya tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.
4. Wujud Ganti Rugi
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Hoge Raad malahan berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan bunga” harus dituangkan dalam sejumlah uang tertentu. Namun jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud lain daripada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad menghadapi masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih parah lagi.
Pitlo berpendapat bahwa undang-undang kita tidak memberikan dasar yang cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu. Alasan pokoknya sebenarnya adalah bahwa berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud lain.
Walaupun demikian hal itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat dinilai dengan uang.
5. Bentuk-Bentuk Kerugian
Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :
  • Kerugian materiil
  • Kerugian immateriil
Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil. Kemungkinan terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan sebagainya.
Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat. Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”. Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut. Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi. Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium. Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali. Atau kalau kita ambil kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan kecerobohan , A menabrak B sehingga debitur mesti mengganti kaki yang dipotong itu. Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong. Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja” atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut “bayaran” di luar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri dari :
- sejumlah biaya pengobatan ;
- dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.
Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak.
Akan tetapi tidak setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat kebendaan yang bernilai uang. Malah kadang-kadang lebih tepat diganti dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.

IV. P E N U T U P
Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) maupun innatura.

SUMBER:
Nama Kelompok :
  • Andreas Paka          20210739
  • Antari Pramono        20210936
  • Prasetiyo                  25210362
  • Tri Prasojo                26210958
  • Yanih Supriyani         28210593
Kelas 2EB06

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS